PERPAJAKAN


BAB 1
DASAR-DASAR PERPAJAKAN

HUKUM PAJAK
Hukum Pajak. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang diterbitkan Balai Pustaka, cetakan kedua tahun 1989, diberikan empat pengertian hukum, yaitu :
1. Pengertian yang dibuat oleh Penguasa/Pemerintah, Adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat/negara.
2. Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat
3.  Patokan(kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa yang tertentu.
4.   Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh Hakim dalam pengadilan,Vonis.
Selanjutnya Hukum dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu :
1.   Kelompok Hukum Perdata (Hukum Privat).
Adalah kelompok hukum yang mengatur Hak, Harta Benda, dan hubungan antara orang dengan orang di suatu negara.
Hukum Perdata (Hukum Privat )dapat dibagi dua lagi :
a. Hukum Perdata Umum
b. Hukum Perdata Khusus, yang lebih dikenal dengan Hukum Dagang
2.   Kelompok Hukum Publik (Hukum Umum).
Adalah kelompok hukum yang mengatur hubungan antara orang dengan negara.
Hukum Publik (Hukum Umum) dapat dibagi empat, yaitu :
a. Hukum Pidana
b. Hukum Tata negara
c. Hukum Adminitrasi Negara atau Hukum Tata Usaha Negara
d. Hukum Pajak
Hukum Pajak, yang juga disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).
Dengan demikian Hukum Pajak menerangkan :
a. Siapa-siapa wajib pajak dan apa kewajiban mereka terhadap pemerintah
b. Obyek-obyek apa yang dikenakan pajak.
c. Cara penagihan.
d. Cara mengajukan keberatan dan sebagainya.

Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Dasar hukum pajak yang tertinggi adalah pasal 23 ayat (2) UUD 45 yang berbunyi bahwa : Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang - Undang.
Asas UU Pajak yang universal adalah UU Pajak harus berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam memikul beban pajak sesuai dengan kemampuan rakyat, non deskriminasi, menjamin kepastian hukum dan mengatur adanya hak dan kewajiban yang seimbang antara rakyat dan negara. Dan hak-hak wajib pajak harus dijaga dan benar-benar dihormati dan dalam menjalankan hukum pajak, pemerintah tidak boleh bersikap sewenang-wewenang atau otoriter.

Hukum Pajak Termasuk Hukum Publik. Hukum pajak adalah sebagian dari hukum publik, dan ini adalah bagian dari tata tertib hukum mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya; pendek kata yang memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Yang termasuk ke dalam hukum publik adalah hukum tata negara, hukum pidana, hukum adminitratif, sedangkan hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum publik adimintratif ini.Menurut a.l. Prof. Adriani agar supaya hukum pajak diberikan tempat yang tersendiri di samping hukum adminitratif, karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum adminitratif pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, lagi pula hukum pajak umumnya mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.

Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yakni:
  1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (obyek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya hutang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Contoh; Undang-undang Pajak Penghasilan
  1. Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil).
Hukum ini memuat antara lain:
    1. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
    2. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
    3. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Hukum Pajak Internasional.
Pengertian Hukum Pajak Internasional adalah ketentuan-ketentuan hukum pajak dipandang dari segi internasional.
Beberapa pendapat mengenai Hukum Pajak Internasional.
- Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Hukum Pajak ialah peraturan-peraturan untuk menghindari pengenaan pajak berganda.
- Menurut Dr. P. Verloren van Themaat, Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan norma-norma (kebiasaan atau traktat) internasional, yang membatasi kedaulatan suatu negara dalam soal pajak.
Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional adalah :
1. Asas-asas yang terdapat dalam Hukum Antar Negara.
2. Peraturan-peraturan Unilateral dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain.
3. Traktat-tarktat dengan negara lain.

DEFINISI  PAJAK
Beberapa Definisi Pajak.
1. Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak :
a. pajak dipungut berdasarkan undang-undang.
b. jasa timbal tidak dapat ditunjukkan secara langsung.
c. pajak dipungut oleh pemerintah. baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
d. pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintahan.
e. dapat dipaksakan.
2. Definisi Prancis, termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la Science des Finances,1906 berbunyi :
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.
3. Definisi Mr. Dr.N.J. Feldmann, dalam bukunya De overheidsmid delen van Indonesia,1949 adalah pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
4. Defenisi Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan adalah sebagai berikut :
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum

Definisi Retribusi. Retribusi pada umumnya hubungan dengan prestasi-kembalinya adalah langsung.Pembayaran retribusi tertentu memang ditujukan semata-mata si pembayar untuk mendapatkan suatu prestasi yang tertentu dari pemerintahan, misalnya pembayaran uang sekolah,uang kuliah, uang ujian, pembayaran abonemen air minum, aliran listrik, gas dsb.

 Definisi Sumbangan Sumbangan mengandung pengertian biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu, tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu ditujukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan hanya untuk sebagian tertentu saja. Oleh karenanya, maka hanya golongan tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar sumbangan ini. Misalnya Pajak Kenderaan Bermotor, peneng untuk sepeda.

FUNGSI PAJAK
1. Fungsi Budgeter.
sebagai alat (sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyak dalam kas negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan.

2. Fungsi Reguler.
reguler sebagai fungsi mengatur, sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu diluar bidang keuangan , untuk mendorong investasi, sebagai alat redistribusi misalnya : mengadakan perubahan tarif.

MANFAAT UANG PAJAK
1. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara.
Negara dalam menjalankan tugas rutin dan pembangunan memerlukan biaya. Biaya tersebut (pengeluaran rutin seperti belanja pegawai, belanja barang pemeliharaan dan sebagainya biayanya berasal dari penerimaan pajak), antara lain diperoleh dari penerimaan pajak.
2. Pajak merupakan salah satu alat pemerataan pendapatan.
Pengenaan pajak dengan tarif progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada golongan yang lebih mampu. Peranan Pajak sebagai alat pemerataan pendapatan ini sangat penting untuk menegakkan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam Trilogi Pembangunan.
3. Pajak merupakan salah satu alat untuk mendorong investasi.
Salah satu fungsi pajak adalah budgeter, apabila masih ada sisa dari dana yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran negara (rutin), maka kelebihan tersebut dapat dipakai untuk Tabungan Pemerintah.

SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2.      Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD !($% pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3.      Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4.      Pemunguta pajak harus efisien (Syarat Finansial)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5.      Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.  

PENGELOMPOKAN PAJAK
1.      Menurut golongannya
    1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan
    1. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
2.      Menurut sifatnya
    1. Pajak subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan diri wajib pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan
    1. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
C0ntoh: PPN dan PPn BM
3.      Menurut Lembaga Pemungutnya
    1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: PPh, PPN, PPn BM, PBB dan Bea Materai
    1. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas:
·        Pajak Propinsi, contoh : Pajak kendaraan bermotor
·        Pajak Kabupaten/kota, contoh: Pajak hotel, Pajak restoran Pajak hiburan, Pajak Reklame

PERLAWANAN TERHADAP PAJAK
Perlawanan Pajak terbagi atas :
1. Perlawanan Pasif
Yaitu terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak, yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara dengan intelektual, moral penduduk dan dengan teknik pemungutan pajak sendiri
2. Perlawanan aktif
Usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap Fiskus dan bertujuan untuk menghindari dari pajak.
Jenis Perlawanan Aktif ada 3 :
a. penghindaran diri dari pajak (tax Avoidence).
Ialah Wajib Pajak tak melanggar peraturan undang-undang secara tegas, sekalipun kadang-kadang dengan jelas berbuat bertentangan dengan maksud pembuat undang-undang.
Ada 3 (tiga ) bentuk/cara tax avoidence sebagai berikut :
- menahan diri.
- pindah lokasi.
- penghindaran diri secara yuridis berbentuk perbuatan dengan cara sedemikian rupa hingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tak terkena penerapan undang-undang pajak. Biasanya penggunaan dari kekosongan dan ketidakjelasan undang-undang.
b. Mengelakkan/penyeludupan pajak (tax evasion)
Ialah pelanggaran undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak atau mengurangi dasarnya. Caranya menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Contoh : manipulasi data sehingga pajaknya kecil.
Akibat pengelakan pajak :
1. dalam bidang keuangan pos kerugian bagi negara.
2. Dalam bidang ekonomi antara lain :
- sangat mempengaruhi persaingan sehat diantara para pengusaha.
- stagnasi berputarnya roda ekonomi.
- langkahnya modal.
3. Penggelapan membiasakan wajib pajak untuk selalu melanggar undang-undang.
c. Melalaikan pajak
Menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi olehnya.
          Caranya : antara lain menghalangi penyitaan, alihkan harta.

 REFORMASI PERPAJAKAN DI INDONESIA
Reformasi kebijakan perpajakan meliputi 2 aspek
l      Perumusan dan pembuatan peraturan perundang- undangan pajak dan penyempurnaan administrasi pajak dalam rangka meningkatkan kepastian hukum.
l      Memberikan kemudahan dan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak
Reformasi Kebijakan Perpajakan
l      Reformasi pertama tahun 1983
l      Reformasi pertama tahun 1994
l      Reformasi pertama tahun 1997
l      Reformasi pertama tahun 2000
l      Reformasi pertama tahun 2004

Reformasi pajak Pertama Tahun 1983
         Reformasi tahap pertama menghasilkan 5 buah Undang-undang Perpajakan
ü            UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
ü            UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
ü            UU No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
ü            UU No 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
ü            UU No 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
Pembaruan pajak nasional selain melakukan rasionalitas pelbagai pungutan pajak juga meletakkan prinsip-prinsip dasar perpajakan nasional antara lain ;
ü      Menghapuskan sistem pajak warisan kolonial yang hanya menitikberatkan pada hak-hak negara dalam memungut pajak tetapi mengabaikan hak-hak dan perlindungan hukum masyarakat Wajib pajak.
ü      Mengubah sistem official assesment menjadi self assessment, dimana wajib pajak diberi kesempatan untuk melaporkan, menghitung dan melaksanakan pembayaran pajak yang terutang sesuai peraturan yang berlaku.
ü      Mengubah persepsi tentang pembayaran pajak yang semula merupakan kepentingan pemerintah semata menjadikan kewajiban perpajakan itu adalah hak kenegaraan setiap warga negara untuk turut mengisi dan menentukan pembangunan nasional.
ü      Penyederhanaan tarif pajak
ü      Penghapusan pelbagai jenis Tax Holiday
ü      Kepastian hukum dan perlindungan hak-hak masyarakat Wajib Pajak, misalnya untuk mengajukan keberatan dan banding, pengurangan pajak maupun restitusi pajak

Reformasi Pajak Kedua Tahun 1994
Reformasi tahap kedua menghasilkan 4 buah Undang-undang Perpajakan
ü      UU No 9 tahun 1994 tentang Perubahan UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
ü      UU No 10 tahun 1994 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No 7 tahun 1991
ü      UU No 11 tahun 1994 tentang perubahan UU No 8 Tahun 1985 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
ü      UU No 12 tahun 1994 tentang perubahan atas UU No 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Secara umum tujuan pembaharuan perpajakan kedua adalah ekstensifikasi Pajak Penghasilan (PPh) dengan penerapan tarif final, ekstensifikasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga untuk menghindari loopholes dan meningkatkan keadilan beban pajak bagi masyarakat

Reformasi Pajak Ketiga Tahun 1997
Reformasi tahap ketiga menghasilkan 5 buah Undang-undang Perpajakan
ü      UU No 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
ü      UU No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
ü      UU No 19 Tahun 1997 tentang Penagiahan Pajak dengan Surat Paksa
ü      UU No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
ü      UU No 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
         Reformasi UU Pajak ketiga dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan cepatnya perubahan dalam kegiatan ekonomi nasional dan global serta untuk nasionalisasi dan sinkronisasi pelbagai pungutan negara dalam rangka meningkatkan persaingan pengusaha nasional menghadapi globalisasi

Reformasi Pajak Keempat Tahun 2000
Reformasi tahap keempat menghasilkan 5 buah Undang-undang Perpajakan
ü      UU No 16 tahun 2000 tentang Perubahan kedua atas UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
ü      UU No 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No 7 tahun 1991 dan UU No 10 tahun 1994
ü      UU No 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua UU No 8 Tahun 1985 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
ü      UU No 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 1997 tentang Penagiahan Pajak dengan Surat Paksa
ü      UU No 20 tahun 2000 tentang Perubahan UU No 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Dalam rangkaian Reformasi perpajakan Keempat pada tahun 2002 diundangkan UU baru yaitu:
UU No 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

Reformasi Pajak Kelima Tahun 2004
UU No 28 Tahun 2007 Tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
    




 AZAS AZAS PEMUNGUTAN PAJAK
PERSAMAAN EKONOMI (Y = C+S) DENGAN PAJAK
Paling utama pungutan pajak itu ditujukan kepada “Y” atau perolehan penghasilan masyarakat. Hal ini dipandang lebih adil, karena pajak dapat dipungut berdasarkan kekuatan atau kemampuan daya pikul secara individual dari anggota masyarakat. Misalnya dengan tarip pajak yang progesif dan adanya potongan penghasilan untuk biaya hidup yang minimal (batas minimum penghasilan kena pajak). “C” juga merupakan cermin dari perolehan penghasilan , karena sebagian besar dari “Y” itu akan di konsumsikan oleh masyarakat. Tetapi pungutan pajak atas “C” adalah bersifat sebagai pelengkap, bukan utama. Sebab membaginya beban pajak itu tidak bisa adil, sesuai dengan daya pikul anggota masyarakat. Dimana anggota masyarakat yang miskin dan yang kaya memikul Menanggung pajak yang sama rata. Pada umumnya di negara yang ekonominya sudah maju, hasil pungutan pajak atas “Y” atau pajak langsung (PPh,PBB) itu jauh lebih besar dari pada atas “C” atau pajak tidak langsung (PPN,PPnBM, Bea Materai). Jika Pajak tidak langsung (PTL) lebih besar dari pajak langsung (PL), itu menandakan bahwa negara itu masih primitif, ekonomi sosial dalam keadaan terbelakang.

Azas Teori
Undang-undang perpajakan harus mengabdi kepada keadilan, baik dalam arti perundang undangan maupun pelaksanannya. Oleh karena itu UU perpajakan harus memperhatikan teori seperti teori bakti, teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, teori gaya beli.
- Teori Asuransi.
Bahwa pajak disamakan dengan pembayaran premi untuk perlindungan seperti terdapat dalam asuransi pertanggungan.
- Teori Kepentingan.
Sudah selayaknya apabila biaya yang telah dikeluarkan negara untuk kepentingan penduduk (termasuk perlindungan jiwa dan harta) dibebankan kepada negara
- Teori Gaya Pikul.
dasar keadilan pemungutan pajak adalah terletak pada jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya dalambentuk perlindungan jiwa dan harta, sehingga wajar apabila biaya yang telah dikeluarkan oleh negara tersebut dipikul kepada yang menikmatinya.
- Teori Bakti.
Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan warga negara mempunyai kewajiban membayar pajak sebagai bukti tanda baktinya kepada negara
- Teori Gaya Beli.
Mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat dengan maksud memelihara kehidupan masyarakat.

Azas Falsafah Hukum
Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan bagi negara dan warganya.Oleh karena itu pemungutan pajak di negara hukum haruslah berdasarkan Undang-Undang, agar tercapai kepastian hukum.
Hal-hal yang perlu diperhatikan agar :
a. Hak hak aparatur perpajakan harus dijamin dapat dilaksanakan dengan lancar.
b. Wajib Pajak harus mendapat jaminan hukum agar tidak diperlakukan dengan semena-mena oleh aparatur pajak. Wajib Pajak tidak hanya dituntut memenuhi kewajibannya, tetapi hak Wajib Pajak juga harus diperhatikan
c. Harus adanya jaminan terhadap kerahasian diri Wajib Pajak maupun perusahaan.
Undang undang pajak harus memberikan kepastian hukum kapan timbul utang pajak dan kapan berakhirnya.
Timbulnya Utang pajak:
a. Menurut Ajaran Material
Timbulnya utang pajak karena berlakunya Undang-Undang Perpajakan, jadi bukan karena adanya ketetapan pajak. Keadaan, perbuatan, peristiwa itulah yang menyebabkan timbulnya utang pajak.
b. Menurut Ajaran Formal.
Timbulnya utang pajak, karena dikeluarkan ketetapan pajak
Utang pajak berakhir apabila :
1. dilakukan pembayaran dengan uang
2. Adanya kompensasi, pelunasan utang pajak dengan menghitung kelebihan pembayaran pajak terhadap utang pajak lainnya
3. Adanya penghapusan pajak, dikarenakan :
Daluarsa, apabila tunggakan pajak dalam waktu sepuluh tahun tidak dilakukan tindakan penagihan pajak.

 Azas Finansial
Sesuai dengan fungsi budgeter, maka biaya pemungutan pajak harus seminimal mungkin, dan hasil pemungutan pajak hendaknya cukup untuk menutupi pengeluaran negara. Harus pula diperhatikan saat pengenaan pajak hendaknya sedekat mungkin dengan terjadinya perbuatan, peristiwa, keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Menurut Adam Smith The Four Maxim's mengemukakan azas-azas yang harus diperhatikan dalam pengenaan pajak adalag sebagai berikut :
a. Asas Equality.
Dalam suatu negara tidak diperbolehkan mengadakan diskriminasi diantara wajib pajak. Pengenaan pajak terhadap subyek hendaknya dilakukan seimbang sesuai dengan kemampuannya.
b. Azas Certainty.
Pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak harus pasti untuk menjamin adanya kepastian hukum, baik mengenai subyek, obyek, besarnya pajak dan saat pembayarannya
c. Azas Convenience.
Pajak hendaknya dipungut pada saat paling tepat/baik bagi para wajib pajak
d. Azas Effeciency.
Biaya pemungutan pajak hendaknya seminimal mungkin, artinya biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dari pemasukan pajaknya.

 Azas Ekonomi
Selain fungsi budgeter, pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, tidak mungkin suatu negara menghendaki merosotnya kehidupan ekonomi masyarakat, karena itu pemungutan pajak sebagai berikut :
a. harus diusahakan supaya jangan sampai menhambat lancarnya produksi dan perdagangan.
b. Harus diusahakan, supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam usahanya menuju ke kebahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum.

Azaz Pemungutan Pajak
Ada tiga azas pemungutan pajak yaitu :
1. Azas Sumber.
Azas yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantung pada adanya sumber penghasilan di suatu negara. Jika di suatu negara terdapat suatu sumber penghasilan, maka negara tersebut berhak memungut pajak tanpa melihat Wajib Pajak itu bertemapat tinggal.
2. Azas Domisili.
Azas yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantung pada tempat tinggal (domisili) wajib pajak di suatu negara. Negara dimana Wajib Pajak itu bertempat tinggal, negara itulah yang berhak mengenakan pajak atas segala penghasilan yang diperoleh dari manapun.
3. Azas Nasional.
Azas yang menganut cara pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu negara.
Catatan :
Untuk menghindari seorang Wajib Pajak dikenakan pajak dari berbagai negara yang menganut salah satu dari ketiga azas tersebut, maka diadakan suatu perjanjian perpajakan (tax treaty)

SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
1. Self Assesment.
Self Assesment adalah suatu sistem pemungutan pajak yaitu wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan.
Dalam tata cara ini kegiatan pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari masyarakat sendiri, yaitu wajib pajak diberi kepercayaan untuk :
a. menghitung sendiri pajak yang terutang.
b. memperhitungkan sendiri pajak yang terutang.
c. membayar sendiri jumlah pajak yang harus dibayar.
d. melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang.
Syarat-syarat sistem self asesement dapat berhasil dengan baik adalah :
a.adanya kepastian hukum.
b.sederhana perhitungannya.
c. mudah pelaksanaan.
d.lebih adil dan merata.
e.perhitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak
2. Official Assesment.
Official asesment suatu sistem pemungutan pajak yaitu aparatur pajak yang menentukan sendiri (diluar wajib pajak) jumlah pajak yang terutang.
Dalam sistem ini inisiatif sepenuhnya ada pada aparatur pajak atau kegiatan dalam menghitung dan pemungutan pajak sepenuhnya ada pada aparatur pajak. sistem ini berhasil dengan baik kalau aparatur perpajakan baik maupun kuantitasnya telah memenuhi kebutuhan.
3. Withholding System
Ialah penghitungan, pemotongan dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan kepada pihak ketiga oleh pemerintah. (semi self asessmen)

TARIF PAJAK
Tarif pajak ada beberapa macam. Dalam Buku Hukum Pajak ini akan diuraikan 4 (empat) tarif pajak yaitu :
1. Tarif Pajak yang Proporsional (sebanding)
Tarif yang merupakan persentase yang tetap. Jumlah pajak yang terutang tentu akan berubah sesuai dengan jumlah yang dipakai sebagai dasar.
Contoh :
PPN 10% x Rp. 1.000.000 = Rp. 100.000
10% x Rp. 2.000.000 = Rp. 200.000
2. Tarif Pajak yang Progresif
Suatu tarif yang persentasenya meningkat semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak. Contoh : Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 50.000.000
  5 % x Rp. 25.000.000 :  Rp. 1.250.000
10% x Rp. 25.000.000 :   Rp. 2.500.000
Rp. 3.750.000
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tariff progresif dibagi:
a. Tarif progresif progresif            : kenaikan persentase semakin besar
b. Tarif progresif tetap                   : kenaikan persentase tetap
c. Tarif progresif degresif              : Kenaikan persentase semakin kecil
3. Tarif Tetap.
Suatu tarif yang tetap dan tidak tergantung pada nilai obyek yang dikenakan pajak.
Contoh : Bea materai atas Cek dan Bilyet Giro, sejak 1 Mei 2000 dengan tarifnya Rp. 3000 (tiga ribu rupiah), tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
4. Tarif Pajak Degresif
Tarif yang besarnya persentase semakin menurun untuk jumlah yang semakin besar yang harus dikenakan pajak. Tarif ini sudah tidak dipergunakan lagi.
             
PAJAK NEGARA DAN PAJAK DAERAH
Di Indonesia pengenaan pajak dilakukan dengan dua cara yaitu :
1 Pajak Negara.
Adalah pajak yang pemungutannya dilaksanakan oleh Pemerintahan Pusat, sebagai berikut :
a. Pajak Penghasilan
b. Pajak Pertambahan Nilai
c. Pajak Bumi dan Bangunan
d. Bea Materia
e. Bea Lelang
f. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
2 Pajak Daerah.
Adalah pajak pemungutannya dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah antara lain
Pajak-pajak tingkat Propinsi
a. Pajak Kenderaan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak-pajak tingkat Kabupaten/Kotamadya
a. Pajak reklame.
b. Pajak Hotel dan Restoran
c. Pajak Reklame
d. Pajak Penerangan Jalan
e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Sedangkan beberapa Retribusi Daerah menurut UU No 18 Tahun 1997
a.      Jasa Umum, meliputi jasa pelayanan kesehatan dan persampahan
b.      Jasa Usaha, meliputi penyewaan aset pemda, penyediaan tempat penginapan dll.
c.      Perijinan tertentu yang dapat dipungut retribusi
             
SANKSI SANKSI PAJAK
1. Sanksi adminitrasi.
Sanksi adminitrasi adalah sanksi yang ditetapkan oleh Undang-Undang kepada wajib pajak, karena tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, yaitu :
- denda
- bunga
- kenaikan
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana adalah sanksi yang ditetapkan oleh Undang-Undang kepada wajib pajak karena melakukan tindak pidana, yaitu berupa :
- kurungan
- denda
Sanksi Pidana Terdiri Dari :
a. alpa
b. sengaja
c. pengulangan
d. percobaan
             


BAB 2
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KARAKTERISTIK DAN PRINSIP SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
Karateristik dan prinsip dari sistem pemungutan pajak adalah :
1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dan salah satu kewajiban kenegaraan dan pengabdian maupun peran serta warga negara dan anggota masyarakat atau wajib pajak untuk membiayai keperluan pemerintah dan Pembangunan Nasional.
2. Anggota masyarakat wajib diberi kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assesment).
3. Tanggung Jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparatur pajak (fiskus) sesuai dengan fungsi berkewajiban melakukan pembinaaan, pelayanan, dan pengawasan serta pemeriksaan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undanganan perpajakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pemungutan pajak, pihak fiskus memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan.

PENGERTIAN PENGERTIAN
Beberapa pengertian Perpajakan pada UU No. 6 Tahun 1983 Sebagaimana Telah di ubah Dengan UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum  dan Tata Cara Perpajakan:
1.  Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3.  Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan     bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
6.  Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana          dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
7.  Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu  sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
8.  Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak  menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
9.   Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
12. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15.Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
17.Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18.Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
19.Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
20.Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
21.Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
23.Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
24. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
25.Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/         atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
25.Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
27.Pemeriksaan Bukti Permulaan adaiah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
28.Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
29.Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
30.Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai ke!engkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
31.Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
32.Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33.Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu da!am peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
34.Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
35.Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
36.Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
37.Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oteh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
38.Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang          menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
39.Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40.Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
41.Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.





                  
TAHUN PAJAK
Pada umumnya tahun pajak = tahun takwin = tahun kalender.
Wajib Pajak dapat menggunakan tahun pajak tidak sama dengan tahun takwin dengan syarat harus konsisten selama 12 bulan dan perubahan tahun pajak harus persetujuan Direktorat Jenderal Pajak atas permohonan dari Wajib Pajak.
Untuk lebih jelas dibuat bagan berikut ini :
1.  Tahun Pajak  Sama Dengan Tahun Takwim

1 Januari 2012                                                            31 Desember 2012
Pembukuan dimulai dari 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2012 disebut tahun pajak tahun 2012

2.  Tahun Pajak Tidak  Sama Dengan Tahun Takwim














 

a.
1 Juli 2012                                                                30 Juni 2013
Pembukuan dimulai 1 Juli 2012 sampai dengan 30 Juni 2013, karena 6 bulan pertama jatuh pada tahun 2012 maka disebut tahun pajak 2012









 

b.
1 April 2012                                                                    31 Maret 2013

Pembukuan dimulai 1 April 2012 sampai dengan 30 Maret 2013 disebut Tahun Pajak 2012. Sebab lebih enam (6) bulan jatuh pada tahun 2012









 

c.
1 Oktober 2012                                                            30 September 2013

Pembukuan dimulai 1 Oktober 2012 sampai dengan 30 September 2013 disebut tahun pajak 2013 sebab lebih enam (6) bulan jatuh tahun 2013
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):
a. Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem self asessment wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor pokok Wajib Pajak (NPWP).
b. Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
c. Setiap Wajib Pajak hanya mempunyai satu NPWP untuk semua jenis Pajak.
d. Wajib Pajak yang tidak diwajibkan mendaftarkan diri bila memerlukan nomor pokok wajib pajak (NPWP), dapat mendaftarkan diri dan akan diberikan NPWP.
e. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam satu tahun pajak memperoleh penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP selambat-lambatnya pada akhir tahun.
f. Wajib Pajak Badan harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP selambat-lambatnya satu bulan setelah saat usaha dimulai.
2. Melaporkan usaha untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) :
a. Setiap pengusaha yang dikenakan PPN berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya diberikan NPPKP.
b. Pengusaha usahanya pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pengusaha (apabila pada tempat tinggal tersebut ada kegiatan usaha) dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi pengusaha Badan, kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
3. Kewajiban Pembukuan dan Pencatatan.
a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
b. Wajib Pajak wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan penghitungan Penghasilan neto dan wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
c. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
d. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
e. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
f. Pecatatan terdiri dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penerimaan penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.
g. Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan di Indonesia selama sepuluh tahun yaitu :
1)     Wajib Pajak orang pribadi, ditempat kegiatan atau tempat tinggal.
2)  Wajib Pajak Badan, ditempat kedudukan.
h. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
i. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
j. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, dan kegiatan usaha atau badan lain, setelah mendapat izin Menteri Keuangan dengan ketentuan bahwa Surat Pemberitahuan harus diisi dalam bahasa Indonesia dan mata uang Rupiah.
k. Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
4. Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan.
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, selambat-lambatnya dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak, apabila Surat Pemberitahuan Masa tidak disampaikan atau sampaikan tidak sesuai batas waktu, maka dikenakan sanksi adminitrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.
Jenis Pajak Yang Menyampaikan Batas Waktu Penyampaian
- PPh Pasal 21 Pemotong PPh Psl 21 Paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
-  PPh Pasal 22 Bea Cukai Paling lambat 7 hari setelah penyetoran.
- PPh Pasal 22 Bendaharawan Paling lambat tanggal 14 setelah akhir masa pajak.
- PPh Pasal 23/26 Pemotong PPh psl 23/26 Paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
- PPN dan PPn BM Pengusaha Kena Pajak Paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
- PPN dan PPn BM Bea Cukai Paling lambat 7 hari setelah penyetoran.
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak, apabila Surat Pemberitahuan Tahunan tidak disampaikan atau sampaikan tidak sesuai batas waktu, maka dikenakan sanksi adminitrasi berupa denda sebesar Rp 50.000.
5. Kewajiban Pembayaran Pajak (Penyetoran Pajak).
a. Sarana untuk membayar pajak adalah Surat Setoran Pajak (SSP).
b. Tempat pembayarannya : Kantor Pos dan Giro serta Bank-bank yang ditunjuk oleh Dirjen Anggaran ( Bank Persepsi).
Jangka waktu pembayaran :
1). Untuk PPh pasal 21 harus disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2). Untuk PPh pasal 22 harus disetorkan paling lambat tanggal 7 bulan berikutnya (bukan bea cukai).
3). Untuk PPh pasal 22 impor yang dipungut Bea Cukai harus disetor dalam jangka waktu 1 hari setelah pemungutan.
4). Untuk PPh pasal 23/26 harus disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, setelah bulan saat terutang pajak.
5). Untuk PPh pasal 25 harus disetor paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
6. Kewajiban Wajib Pajak pada waktu pemeriksaan.
Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Wajib pajak yang diperiksa diwajibkan :
a. memperlihatkan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha pekerjaan bebas wajib pajak atau obyek yang terutang pajak.
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu
c. Memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan
d. Memberi keterangan yang diperlukan.
Dirjen Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, bila Wajib Pajak (WP) tidak memenuhi kewajiban sebagaimana di atas.
7. Kewajiban menunjukkan Surat Kuasa
Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak di wakili dalam hal :
a.  Badan oleh pengurus.
b.      Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau dibebani untuk melakukan pemberesan
c.      Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksanaan wasiatnya atau yang mengurusnya harta peninggalannya.
1) Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali pengampunya.
2)     Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya, karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Wakil sebgaimana tersebut di atas bertanggungjawab secara pribadi dan atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Dirjen Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak terutang tersebut.

HAK-HAK WAJIB PAJAK
1. Hak mengajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak atas suatu :
a.      surat ketetapan pajak kurang bayar.
b.      surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan.
c.      surat ketetapan pajak lebih bayar.
d.      surat ketetapan pajak nihil
e.      Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Hak mengajukan Banding
Wajib pajak dapat mengajukan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleg Direktur Jenderal Pajak. Sebelumnya Peradilan Pajak terbentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.
3.         Hak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) kepada Direktur Jenderal Pajak.
4. Hak penundaan pemasukan SPT Tahunan.
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) pajak penghasilan. Penundaan pemasukan SPT Tahunan ini dilakukan oleh Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan apabila tidak dapat menyiapkan laporan keuangan atau neraca perusahaan beserta daftar rugi laba dalam jangka waktu yang ditentukan karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan neraca dalam laporan keuangan.
5. Hak pembetulan Surat Pemberitahuan.
Wajib pajak dapat membetulkan surat pemberitahuan atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan
6. Hak mengangsur atau menunda pembayaran pajak
7. Hak mengajukan permohonan penghapusan sanksi adminitrasi.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi adminitrasi berupa bunga, denda dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak, kepada Dirjen Pajak.


NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)
Syarat-syarat untuk Memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Syarat-syarat yang harus dilengkapi untuk memohon NPWP adalah sebagai berikut:
1. Untuk Wajib Pajak Perseorangan Non Usahawan :
 Fotokopi KTP atau SIM atau Kartu Keluarga atau Paspor.
2. Untuk Wajib Pajak Perseorangan Usahawan :
a. Fotokopi KTP atau SIM atau Kartu Keluarga atau Paspor.
b. Fotokopi Surat Izin Usaha atau Keterangan Tempat Usaha.
3. Untuk Wajib Pajak Badan :
a. Fotokopi Akta Pendirian.
b. Fotokopi Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.
c. Fotokopi KTP salah seorang pengurus.
4. Untuk Wajib Pajak sebagai Pemungut (WP Non-Subjek) :
a. Fotokopi Surat Penunjukan sebagai Bendaharawan
b. Fotokopi Tanda Bukti Diri Bendaharawan
Catatan :
Bila pemohon NPWP mempunyai status cabang, maka perlu dilampirkan fotokopi Kartu NPWP dari Kantor Pusatnya; dan Bila permohonan ditandatangani oleh orang lain, perlu dilengkapi dengan Surat Kuasa.

Tempat Pendaftaran untuk Memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, ada 2 (dua) tempat pelayanan pemberian NPWP, yaitu : Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Penyuluhan Pajak. Ada beberapa macam Kantor Pelayanan Pajak sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh NPWP, yang disesuaikan dengan kondisi jenis Wajib Pajaknya, agar Wajib Pajak tidak salah alamat dalam berurusan dengan masalah kewajiban perpajakannya. Kantor-kantor Pelayanan Pajak dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) adalah tempat pendaftaran bagi seluruh Wajib Pajak Penanaman Modal Asing (WP PMA) yang tidak Go Public. WP PMA di sini berarti WP yang permodalannya tunduk pada ketentuan UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
2. Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB) adalah tempat pendaftaran bagi seluruh Wajib Pajak yang telah mendapat ijin emisi saham dari Badan Pengawas Pasar Modal kecuali Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
3. Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah (KPP PND) adalah tempat pendaftaran bagi seluruh Badan Usaha Milik daerah yang berkedudukan di wilayah daerah Khusus Ibukota Jakarta dan seluruh wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara.
4. Kantor Pelayanan Pajak Badan dan orang Asing (KPP Badora) adalah tempat pendaftaran bagi seluruh Wajib Pajak Badan dan Orang Asing. Wajib Pajak badan di sini berarti Bentuk Usaha Tetap (BUT).
5. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di luar yang telah disebutkan di atas (dahulu biasa disebut dengan istilah KPP Paripurna) adalah tempat pendaftaran bagi seluruh Wajib Pajak selain yang disebutkan di atas, dan Wajib Pajak BUMD yang berkedudukan di luar Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Wajib Pajak BUMN, BUMD, PMA, Badora, Perusahaan Masuk Bursa, yang terbatas pada Pajak Penghasilan Pemotongan, Pemungutan, PPN dan PPnBM.
                  
Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak :
1.  Untuk mengetahui identitas Wajib Pajak.
2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan adminitrasi perpajakan.
3. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan , karena yang berhubungan dengan dokumen perpajakan diharuskan mencantumkan NPWP.
4. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan mencantumkan NPWP dalam dokumen-dokumen yang diajukan, seperti dokumen impor(PIUD), dokumen ekspor(PEB).
5. Untuk keperluan pelaporan Surat Pemberitahuan(SPT) masa atau tahunan.

Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
Yang dimaksud dengan penghapusan NPWP adalah suatu tindakan menghapuskan NPWP dari tata usaha Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Pada dasarnya NPWP berlaku sekali untuk seumur hidup. Namun demikian NPWP dapat saja dihapuskan dari tata usaha kantor pajak apabila telah memenuhi ketentuan, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut (Pasal 11 Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.27/PJ/1995) :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan. Dengan syarat adanya pemberitahuan tertulis dari ahli waris atau pihak lain, dan dilampiri dengan fotokopi akta atau fotokopi laporan kematian atau Surat Keterangan Kematian dari instansi yang berwewenang.
2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Syaratnya adalah adanya fotokopi Surat Nikah atau Akta Perkawinan dari Catatan Sipil.
3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi. Dengan syaarat adanya Surat Pernyataan tentang selesainya warisan dibagi dari ahli waris.
4. Wajib Pajak Badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan syarat adanya Akta Pembubaran dan Neraca Likudasi.
5. Bagi BUT (Bentuk Usaha Tetap) yang karena suatu hal kehilangan statusnya sebagai Bentuk Usaha tetap. Dengan syarat adanya surat atau dokumen lain yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk digolongkan sebagai Wajib Pajak.
6. Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksudkan pada huruf a yang tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai wajib pajak.

SANKSI PERPAJAKAN

Pengenaan sanksi berupa bunga dan kenaikan menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan akan dituruti/ditaati/ dipatuhi atau dengan kata lain sanksi perpajakan alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar perundang-undangan perpajakan.
Dalam UU Perpajakan dikenal dua (2) macam sanksi.
1. Sanksi Adminitrasi
Merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya berupa :
- Bunga.
- Kenaikan.
- Denda.
2. Sanksi Pidana
Merupakan siksaan atau penderitaan, suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar peraturan perundang-undangan perpajakan dipatuhi.
Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan ada 3 macam sanksi pidana :
- Pidana Kurungan.
Pidana kurungan hanya diancam kepada pidana yang bersifat pelanggaran ditambah pidana denda.
- Pidana Penjara.
Pidana penjara diancam terhadap kejahatan dibidang perpajakan ditambah denda pidana.
- Denda Pidana.
Dikenakan kepada Wajib Pajak yang melanggar ketentuan peraturan perpajakan.
Secara lebih ringkas dan rinci sanksi perpajakan dijelaskan sebagai berikut:
1. Pasal 7.
(1)    Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu Juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000.00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
(2)  Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
a.   Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b.  Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
c.  Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
d.   Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang beriaku; 
f.    Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g.  Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau 
h.  Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 
 
2. Pasal 8 (2)
Dalam hal Wajib Pajak membetuikan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang 
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal             pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) buian

3. Pasal 8 (3).
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. 

4. Pasal 8 (5)
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.- Sekalipun jangka waktu pembetulan sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat 1 telah berakhir. 

5. Pasal 13  (1)
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut: 
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c.   apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak 
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
d.  apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e.   apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).

6. Pasal 13 ( 2 )
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB pada pasal 13 ayat 1 ditambah dengan sanksi adminitrasi berupa bunga 2% sebulan maksimun 24 bulan. Dihitung sejak terutang pajak atau berakhir Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.

7. Pasal 13 (3)
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 
a.   50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
b.   100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
c.   100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.

8. Pasal 13 (5 )
Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

9. Pasal 13 A
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumtah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

10. Pasal 14 (3)
Jumlah kekurangan pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 14 aayat 1 huruf a dan b ditambah dengan sanksi adminitrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen sebulan (maks.24 bulan) Dihitung sejak saat terutang pajak atau bagian tahun pajak dan tahun pajak sampai dengan diterbitkannya STP.


11. Pasal 14 (4)
Terhadap pengusaha atau PKP sebagaimana di maksud pasal 14 ayat 1 huruf d dan e Dikenakan (masing-masing) sanksi adminitrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.

12. Pasal 15 ayat 2
Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPKBT ditambah sanksi adminitrasi berupa kenaikkan 100% dari jumlah kekurangan pajak.

13.Pasal 15 (4)
Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah Jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan         pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 

14.Pasal 17 B (3)
Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

15 Pasal 19 (1)
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

16. Pasal 19 (2)
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah          pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

17. Pasal 19 (3)
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan        dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

18. Pasal 27 A
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.  untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembaii; atau
b.  untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung      sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembaii.

19.Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya :
a.   tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b.  menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap , atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga)bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

20.Pasal 39 (1)
Setiap orang yang dengan sengaja :
a.  tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.  menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan pengusaha Kena Pajak;
c.   tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d.  menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e.  menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f.   memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen  lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g.  tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);atau
i.  tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

21.Pasal 39 (2)
Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
          
20.Pasal 39 (3)
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)          kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

21. Pasal 39 A
Setiap orang yang dengan sengaja :
a.  menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya;atau
b.  menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
 

22.Pasal 41 (1)
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.25.000.000.00 ( dua puluh lima juta rupiah).

23.Pasal 41 (2)
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
          
24.Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
 
25.Pasal 41 B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

26, Pasal 41 C
(1)  Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam                Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 
27. Pasal 43 (1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan 

26. Pasal 43(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B belaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana                di bidang perpajakan.

 SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

SPT adalah surat yang oleh wajib pajak (WP ) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
Terdapat dua macam SPT :
a. SPT Masa yaitu yang oleh WP digunakan untuk memberitahukan pajak terutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu saat.
SPT Masa PPh meliputi pembayaran pajak :
- PPh Pasal 21.
- PPh Pasal 22.
- PPh Pasal 23.
- PPh Pasal 25.
- PPh Pasal 26.
SPT Masa PPN :
- SPT Masa PPN.
- SPT Masa PPN PE.
b. SPT Tahunan yaitu surat yang oleh WP digunakan untuk memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
SPT Tahunan terdiri dari :
- SPT PPh Pasal 21.
- SPT Orang Pribadi.
- SPT Badan.
SPT Tahunan harus memuat jumlah peredaran usaha, penghasilan bruto, jumlah penghasilan neto, jumlah penghasilan kena pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dibayar dalam tahun berjalan (kredit pajak) dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
SPT Tahunan harus disampaikan ke kantor pelayanan pajak, paling lambat tiga bulan setelah akhir tahun pajak.

 

 Fungsi SPT.

Sebagai sarana WP untuk
- melaporkan.
- mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
- laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dalam Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
- Laporan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam satu Masa Pajak.

 

 Prosedur yang menyangkut SPT.

Prosedur yang menyangkut SPT yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sbb:

1. Setiap Wajib Pajak harus mengambil sendiri SPT ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

2. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, jelas lengkap, menandatangani dan menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
3. Wajib Pajak Badan Surat Pemberitahuan harus ditandatangani oleh pengurus atau Direksi.
4. Jika SPT yang mengisi dan menandatangani orang lain bukan wajib pajak, harus melampirkan surat kuasa khusus.
5. Surat Pemberitahuan wajib dilengkapi dengan lampiran yang ditentukan menurut perundang-undangan perpajakan yang berlaku, termasuk neraca dan perhitungan rugi-laba (bagi Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan).
6. Setelah SPT diatas telah diisi lengkap beserta lampiran-lampirannya, diserahkan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan dengan tanda bukti penerimaan, jika SPT disampai tidak lengkap, dianggap SPT tidak disampaikan.
7. Jika dikirim melalui pos, harus tercatat dan bukti tercatat adalah penerimaan.
             
 Cara Pengisian SPT Tahunan
1.Setiap Wajib Pajak terlebih dahulu membaca buku petunjuk pengisian SPT Tahunan dengan cermat.
2.Setelah membaca, lampiran SPT diisi terlebih dahulu sebelum mengisi Induk SPT.
3.Jika diperlukan dapat membuat lampiran-lampiran tambahan disamping lampiran yang sudah ditentukan.
4.Induk SPT beserta lampirannya diisi rangkap dua :
- satu lembar untuk Kantor Pelayanan Pajak.
- satu lembar untuk arsip Wajib Pajak
- Angka-angka rupiah SPT tahunan berikut lampiran-lampiran dinyatakan dalam rupiah penuh

 

 Tempat Pengambilan SPT.

Setiap WP pada dasarnya harus mengambil sendiri SPT dikantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak. Namun dalam rangka pelayanan, untuk SPT Tahunan masih dikirim kepada WP.

 

 Yang Wajib Mengisi SPT.

SPT harus diisi secara benar, jelas, lengkap dan harus ditandatangani. Dalam SPT diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan WP, harus dilampiri surat kuasa khusus.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pengisian Surat Pemberitahuan yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi perpajakan.
Yang wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai berikut :
1. Setiap orang pribadi yang menerima penghasilan yang jumlahnya melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
2. Setiap badan yang didirikan di Indonesia (berkedudukan) yang terdiri dari Perseroan Terbatas,CV, Persekutuan, Koperasi, Yayasan, BUMN dan BUT.
Yang dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang semata-mata hanya memperoleh/menerima penghasilan dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPH pasal 21.
2. Wajib Pajak orang pribadi penghasilan neto dalam satu tahun tidak melebihi PTKP.

 Pelunasan Setoran Akhir ( PPh Pasal 29 ).
Kekurangan pajak terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke-tiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum SPT Tahunan disampaikan.

 Penyampaian SPT.

a. SPT disampaikan secara langsung atau melalui pos secara tercatat ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) / Kantor Penyuluhan Pajak (Kapenp)a setempat.

b. Batas waktu Penyampaian :
- Untuk SPT Masa, selambat-lambatnya dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak
- Untuk SPT Tahunan, selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak
c. SPT yang disampaikan langsung ke KPP/Kapenpa diberikan bukti penerimaan. Dalam hal SPT disampaikan melalui pos secara tercatat, bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai bukti penerimaan.























SOAL-SOAL LATIHAN

1.      Sebutkan macam hukum pajak
2.      Sebutkan pengertian hukum pajak internasional
3.      Sebutkan pengertian pajak menurut Prof. Dr. Roochmat Soemitro, SH serta jelaskan unsure-unsur yang terkandung di dalamnya.
4.      Sebutkan dan jelaskan fungsi pajak
5.      Dalam mengurangi tindak kejahatan di masyarakat Pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikan pajak minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. Fungsi pajak apa yang dilakukan Pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut? Sebutkan dan jelaskan.
6.      Salah satu syarat pemungutan pajak adalah harus adil (syarat keadilan) coba anda terangkan apa yang dimaksud dengan syarat keadilan.
7.      Apa yang dimaksud perlawanan pasif terhadap pajak
8.      Sebutkan dan jelaskan pengelompokan pajak menurut golongannya
9.      Sebutkan dan jelaskan system pemungutan pajak yang ada di Indonesia.
10. Sebutkan prinsip-prinsip dasar perpajakan nasional reformasi pajak pertama tahun 1983
11. Sebutkan jenis-jenis sistem pemungutan pajak
12. Sebutkan macam-macam tarif pajak
13. Sebutkan jenis-jenis sanksi pajak
14. Sebutkan karakteristik dan prinsip sistem pemungutan pajak
15. Sebutkan pengertian wajib pajak
16. Sebutkan pengertian tahun pajak
17. Apa singkatan dari : NPWP,SPT, SSP,STP,SKPKB,SKPLB,SKPN
18. Sebutkan batas waktu penyampaian SPT-Tahunan Pajak Penghasilan dan siapa yang menyampaikan SPT.
19. Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu pajak Negara dan pajak Daerah. Sebutkan pajak Negara yang masih berlaku saat ini.
20.  Tuan Mahmud menikah memiliki anak 3 berapa Penghasilan Tidak Kena Pajaknya.

Komentar

Postingan Populer