KESEMPATAN KEDUA




KESEMPATAN KEDUA

Pada Tanggal 27 Mei 2006, Sabtu pagi pukul 05:53 terjadi gempa bumi yang mengguncang daerah Bantul dan sekitarnya dengan kekuatan 5,9 SR. Kurang dari 1 menit, namun dampaknya sangat dahsyat. Waktu itu saya masih duduk di kelas 3 SD. Banyak korban jiwa dalam peristiwa memilukan ini, di desa saya sendiri terdapat 28 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka. Saat gempa terjadi saya masih tidur di atas tempat tidur. Ibu sedang memasak di dapur. Saat gempa terjadi Ibu berlari menghampiri saya lalu menggendong saya keluar dari rumah. Tetapi sayangnya saya dan ibu tidak berhasil menyelamatkan diri. Padahal hanya butuh satu langkah lagi untuk bisa selamat, tapi takdir berkata lain. Saya dan Ibu tertimpa tembok rumah yang roboh. Seketika saya tidak sadarkan diri. Tetapi saat itu Ibu masih bisa meminta tolong. Untungnya Ayahku mendengar suara Ibu, kalau tidak saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Ayah meminta bantuan kepada para tetangga yang selamat untuk membantu mengangkat tembok yang menindih. Di lingkungan tempat tinggal saya hanya terdapat beberapa rumah saja yang berdiri yang lainnya sudah rata dengan tanah. Rumah yang masih berdiri itulah yang dijadikan tempat tinggal sementara bagi warga. Untuk korban yang sudah meninggal dunia dikumpulkan menjadi satu di masjid. Saya dan ibu di bawa ke rumah sakit tetapi kami berada di rumah sakit yang berbeda. Untuk mendapat kamar di rumah sakit tidak cepat. Saya koma tak sadarkan diri selama 3 hari. Ketika saya terbangun dari koma, di samping saya sudah ada kakak yang memandangi saya sambil tersenyum. Entah apa yang ada di pikiran kakak. Saat saya sadarkan diri, hal yang pertama terucap adalah “Kak, ini dimana?, aku ada tugas matematika, kalau nggak ngerjain nanti dihukum sama Pak Guru Kak”. Kakak saya mencoba menenangkan dan menceritakan apa yang terjadi. Saat itu saya belum sadar kalau kaki saya sebelah kiri tidak bisa digerakkan. Hanya saja di hidung saya sudah terpasang selang oksigen dan di rongga dada saya dipasang selang kecil, karena di sekitar paru-paru saya terdapat darah yang menggumpal dan harus dikeluarkan. Saya mengalami patah tulang di bagian paha kiri dan tulang rusuk saya beberapa juga patah. Kurang lebih satu bulan saya di rumah sakit. Selama itu pula kakak selalu menemani.
Kakak saya selamat dari gempa karena ketika itu kakak lari menyelamatkan diri ke bawah meja belajar yang ada di kamarnya. Kakakku hanya mengalami luka kecil di bagian dahinya, tidak begitu parah tetapi harus diperban. Di rumah sakit aku sekamar dengan seorang anak yang kulit kaki bagian lutut ke bawahnya terkelupas. Hal tersebut terjadi karena pada saat terjadi gempa kaki anak itu tertindih tembok, kemudia kakaknya mencoba menolong dengan menarik bocah berperawakan agak besar itu sendirian, alhasil kulit anak itu terkelupas parah. Setiap hari ada banyak orang yang datang menghibur dan memberi motivasi. Dokter di Rumah Sakit Panti Rapih ini pun tak kalah baiknya. Banyak orang yang tidak percaya saya masih bisa merasakan indahnya dunia ini. Tak aneh mereka berpkiran seperti itu, karena memang saat itu harapan hidup yang saya miliki sangatlah kecil. Saya sangat merasa bersyukur atas kesempatan yang diberikan Allah kepada saya. Kehidupan di rumah sakit telah terlewati. Saat untuk pulang ke rumah pun tiba. Perasaan saya saat itu campur antara  perasaan sedih karena harus berpisah dengan teman-teman sekamar saya yang menyenangkan. Sesampainya di rumah saya disambut banyak tetangga yang penasaran dengan keadaan saya saat itu. Banyak tetangga yang bergantian menjenguk saya. Teman-teman sekelas saya dari SD N 1 Panjangrejo juga tidak ketinggalan menjenguk. Mereka menuliskan harapan-harapan mereka untuk saya di kaki saya yang saat itu masih di gips. Awalnya kaki saya akan dioperasi tetapi mengingat usia saat itu masih muda sehingga dokter mengurungkan niatnya karena tulang muda sehingga proses penyembuhannya masih bisa cepat tanpa melalui operasi. Guru-guru SD saya juga bergantian menjenguk, mereka memberi motivasi-motivasi untuk saya agar kembali bersekolah lagi setelah sekian lama tidak masuk sekolah.
Saya harus menjalai kontrol rutin setiap minggunya. Akhirnya waktu untuk melepas gips telah tiba. Setelah gips dilepas saya harus menjalani beberapa kali terapi. Terapi dilakukan di rumah tepatnya di tenda karena rumah saya saat itu sudah rata dengan tanah. Terapis yang menangani saat itu sangatlah menyenangkan. Ukuran kaki saya yang patah memang lebih kecil bila dibandingkan dengan kaki yang tidak mengalami patah tulang. Itu dikarenakan selama kaki saya di gips, kaki saya tidak boleh banyak bergerak. Tetapi setelah menjalani beberapa kali terapi akhirnya kaki saya kembali ke ukuran normal. Kehidupan saya banyak dikelilingi oleh orang-orang yang yang menyayangi dan mengasihi. Sehingga kesembuhan saya terbilang cepat. Bersyukur saya diberikan kesempatan kedua untuk hidup, tak akan saya sia-siakan kesempatan ini. Saya terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Janganlah kita sia-siakan nyawa yang telah Allah titipkan. Jadilah pribadi yang lebih baik, tidak ada seorang pun yang tahu batas usia kita sampai kapan. Jadi tetaplah berperilaku positif. Sekian pengalaman dari saya semoga ada pelajaran yang bisa di ambil, Salam Mahasiswa!

Komentar

Postingan Populer