SEKILAS HIBAH, WASIAT DAN WARISAN
SEKILAS HIBAH,
WASIAT DAN WARISAN
Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman
![]() |
Publication: 1435 H_2014 M
SEKILAS HIBAH, WASIAT DAN WARISAN
Oleh: Abu Abdillah Arief Budiman
Oleh: Abu Abdillah Arief Budiman
Sumber: AlManhaj.or.id
dari As-Sunnah Ed Khusus (7-8) Th. IX_1426H/2005M
HIBAH
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam
kitabnya[1]:
“(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya
penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya[2]
tanpa imbalan apapun[3]”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa
juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang
lain, baik berupa harta atau lainnya”.
Syaikh
Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu
melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui
(jelas)”.[4]
Demikian
makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka hibah mencakup hal-hal
berikut ini:
1. Al Ibra`: (الإِبْرَاء) yaitu hibah
(berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia
terbebas dari utang).
2. Ash Shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu
pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat.
3. Al Hadiyah (الهَدِيَّة): yaitu segala
sesuatu yang melazimkan (mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya
(membalasnya dengan yang lebih baik).[5]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang perbedaan antara
shadaqah dan hadiyah, dan mana yang lebih utama dari keduanya, beliau rahimahullah
menjawab: “Alhamdulillah, ash shadaqah adalah segala sesuatu yang
diberikan untuk mengharap wajah Allah sebagai ibadah yang murni, tanpa ada
maksud (dari pelakunya) untuk (memberi) orang tertentu, dan tanpa meminta
imbalan (dari orang yang diberi tersebut). Akan tetapi, (pemberian tersebut)
diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah, maka
pemberian ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan terhadap individu
tertentu, baik hal itu sebagai (manifestasi dari) rasa cinta, persahabatan
ataupun meminta bantuan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menerima hadiah, dan berterimakasih atasnya (dengan memberinya hadiah kembali),
sehingga tidak ada orang yang meminta atau mengharapkan kembali darinya. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah memakan kotoran-kotoran[6] (zakat atau shadaqah) orang lain
yang mereka bersuci dengannya dari dosa-dosa mereka, yaitu shadaqah. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak memakan shadaqah karena alasan ini ataupun karena
alasan-alasan lainnya.[7] Maka (dengan demikian) telah
jelaslah perkaranya, bahwa shadaqah lebih utama. Kecuali jika hadiyah memiliki
makna tersendiri, sehingga membuatnya lebih utama dari shadaqah, seperti
memberi hadiah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di masa
hidupnya sebagai tanda cinta kepadanya, atau memberi hadiah kepada kerabat,
yang dengannya terjalinlah hubungan lebih erat antara kerabat, atau juga
memberi hadiah kepada saudara seiman, maka hal-hal seperti ini bisa membuat
hadiyah lebih utama (dari shadaqah)”.[8]
Ibnu
Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata:
“Kesimpulannya, hibah, shadaqah, hadiyah, dan ‘athiyah memiliki makna
yang saling berdekatan. Makna ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan
(seseorang kepada orang lain) pada waktu hidupnya tanpa imbalan balik apapun.
Dan penyebutan ‘athiyah (pemberian) mencakup seluruhnya, demikian pula hibah.
Sedangkan shadaqah dan hadiyah berbeda, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah memakan hadiyah dan tidak pernah memakan shadaqah. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata ketika Barirah diberi daging shadaqah:
هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ
وَلَنَا هَدِيَّةٌ
Maka
zhahirnya, orang yang memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan dengan
berniat taqarrub kepada Allah adalah shadaqah. Sedangkan orang yang memberi sesuatu
dengan tujuan untuk (melakukan) pendekatan kepadanya, dan dalam rangka
mencintainya, maka itu adalah hadiyah. Dan seluruh (amalan-amalan) ini hukumnya
sunnah dan sangat dianjurkan (untuk dilakukan), karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا
Adapun
shadaqah, maka keutamaannya jauh lebih banyak, di luar batas kemampuan kami
untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al
Baqarah ayat 271,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ
فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ
Jika
kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu
sebagian kesalahan-kesalahanmu”. [11]
WASIAT
Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah,
pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia
berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. [12]
Dari
definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna dengannya)
dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung berhak memiliki
pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang yang mendapatkan wasiat,
ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat
meninggal dunia terlebih dahulu.[13]
WARISAN
Warisan
berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa Arab disebut at
tarikah (التَّرِكَة). Definisinya
menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya
disebabkan dia meninggal dunia.[14]
Hak-hak
yang berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat. Keempat hak ini
tidak berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat
dari yang lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya.
Urutan empat hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai
berikut:[15]
1. Hak yang pertama, dimulai dari pengambilan
sebagian at tarikah tersebut untuk biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit
(mulai dari dimandikannya mayit sampai dikuburkan).
3. Hak yang ke tiga, melaksanakan
wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya pelunasan
utang-utangnya.
4. Hak yang ke empat, pembagian tarikah
(harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari sisa pengurangan (dari ke
tiga hak di atas).
Demikian
penjelasan singkat tentang hibah, wasiat dan warisan. Adapun
permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, insya Allah akan diangkat
pada edisi yang akan datang.
Wallahu
a’lam, wa akhiru da’waana anil hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin.[]
KITAB
WASIAT
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
![]() |
Publication: 1435 H_2014 M
KITAB WASIAT
Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Sumber AlManhaj.Or.Id. Com yang menyalinnya dari
Kitab al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wa Kitaabil Aziiz, Ed. Indonesia: Panduan
Fikih Lengkap, Terjemahan Team Tashfiyah LIPIA-Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir 1428 H/ 2007 M
Defenisi Wasiat
Kata wasiat diambil dari kata, “ وصيت الشيء أوصيه (aku
menyampaikan sesuatu yang dipesankan kepadaku).” Maka, setelah orang yang
berwasiat wafat, ia telah menyampaikan apa yang dulu akan disampaikan semasa
hidupnya.
Adapun secara syara’ wasiat berarti penyerahan barang,
hutang, atau kemanfaatan kepada orang lain agar diberikan kepada orang yang
diwasiati setelah orang yang berwasiat meninggal.
Hukum Wasiat
Wasiat wajib bagi orang yang memiliki harta untuk
diwasiatkan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atasmu, apabila seorang di antara kamu
mendapatkan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah/2: 80)
Dan dari ‘Abdillah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ
وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
“Seorang muslim tidak layak memiliki sesuatu yang harus
ia wasiatkan, kemudian ia tidur dua malam, kecuali jika wasiat itu tertulis di
sampingnya.” [17]
Ukuran Harta Wasiat Yang Disunnahkan
Dari Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata, “Ketika di Makkah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang
menjenggukku sementara beliau enggan wafat di tanah yang beliau hijrah darinya,
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَرْحَمُ اللهُ ابْنَ عَفْرَاءَ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُوْصِي بِمَالِي كُلِّهِ
قَالَ: لاَ، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ؟ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: اَلثُّلُثُ، قَالَ: فَالثُّلُثُ،
وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ
تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ، وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ
مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي
امْرَأَتِكَ، وَعَسَى اللهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ
آخَرُونَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ ابْنَةٌ.
“Semoga Allah merahmati Ibnu ‘Afra (Sa’d).’ Aku katakan,
‘Wahai Rasulullah, aku berwasiat dengan semua hartaku?’ Beliau bersabda, ‘Tidak
boleh.’ Aku katakan, ‘Separuhnya?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan,
‘Sepertiganya?’ Beliau bersabda, ‘Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak,
sebab jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik
dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka meminta-minta pada
orang lain. (Selain itu, jika engkau hidup) walaupun engkau memberikan hartamu
pada keluargamu, akan tetap dihitung sebagai sedekah, sampai makanan yang
engkau suapkan pada mulut isterimu. Semoga Allah mengangkat derajatmu,
memberikan manfaat kepada sebagian manusia, dan membahayakan sebagian yang
lain.’ Pada saat itu Sa’d tidak mempunyai pewaris kecuali seorang anak
perempuan.”[18]
Tidak Boleh Berwasiat Untuk Ahli Waris
Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda dalam khutbahnya pada tahun Haji Wada’:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang
yang memiliki hak akan hartanya. Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.”[19]
Apa Yang Ditulis Di Awal Wasiat
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Para
Sahabat menulis pada awal wasiatnya:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Berikut ini apa yang akan aku wasiatkan kepada Fulan bin
Fulan:
“Hendaklah ia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak
di-ibadahi dengan benar selain Allah, yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya,
dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dan bahwasanya Kiamat pasti akan
datang tanpa keraguan sedikit pun. Dan bahwasanya Allah akan membangkitkan
setiap orang yang ada di kubur. Maka hendaknya ia mewasiatkan kepada keluarga
yang ditinggalkannya supaya bertakwa kepada Allah, selalu memperbaiki diri,
mentaati Allah dan Rasul-Nya jika ia benar-benar beriman. Juga mewasiatkan bagi
mereka sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim dan Ya’qub kepada anak-anak mereka,
‘Wahai anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kalian sebuah agama,
maka janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan Islam.’” [20]
Kapan Wasiat Dipindahkan Haknya
Wasiat tidak boleh dipindahkan haknya kepada orang yang
diwasiati kecuali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia, dan telah
dilunasi hutang-hutangnya. Apabila hutangnya melebihi harta peninggalan, maka
orang yang diwasiati tidak mendapatkan apa-apa.
Dari ‘Ali Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan pelunasan hutang
sebelum pelaksanaan wasiat. Kalian juga membaca ayat:
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(Pembagian warisan) setelah (dipenuhi wasiat) yang
dibuatnya atau (dan setelah) hutangnya.’” (QS. An-Nisaa'/4: 12) [21]
Peringatan:
Sehubungan dengan kenyataan bahwa pada umumnya masyarakat
sekarang adalah berbuat bid’ah pada agamanya, terlebih lagi yang berkaitan
dengan urusan jenazah, maka termasuk wajib bagi seorang muslim berwasiat agar
jenazahnya diurus dan dimakamkan sesuai dengan Sunnah, berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ
مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim/66: 6)
Oleh karena itulah para Sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berwasiat dengannya. Riwayat yang menjelaskan hal ini
sangat banyak, di antaranya:
Dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yaitu
Sa’d) berkata pada saat sakit menjelang ajalnya, “Galilah untukku sebuah lahat,
dan pancangkanlah di atasnya sebuah bata (patok), sebagaimana yang di buat
untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [22]
Peringatan
Kedua:
Apabila seseorang mempunyai cabang pewaris yang sudah
meninggal ketika ia hidup, maka ia harus berwasiat untuk anak-anak pewaris ini
sebanyak apa yang seharusnya menjadi hak mayit atau sesuatu dari hartanya
dengan batasan sepertiga. Dan sepertiga adalah banyak. Apabila orang tersebut
meninggal, dan tidak berwasiat untuk cucu-cucunya itu, maka mereka diberi
bagian yang seharusnya diwasiatkan. Karena ini merupakan hutang atas orang itu,
walaupun ia tidak menulisnya. Dan hendaknya sekarang ini pengadilan
memberlakukan hal tersebut.[]
[2]
Karena
jika penyerahan kepemilikan itu terjadi setelah dia meninggal, maka hal itu
disebut wasiat.
[7]
Sebagaimana
hadits Al Fadhl bin Abbas radhiyallahu anhuma dalam Shahih Muslim (2/754
no.1072) dan lain-lainnya:
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ
إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ, وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ
مُحَمَّدٍ
Sesungguhnya
shadaqah-shadaqah ini adalah kotoran-kotoran manusia, tidak halal bagi Muhammad
dan keluarga Muhammad.
[10]
HR
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (6/169), dan lain-lain, dan Syaikh Al
Albani menghasankan hadits ini. Lihat Shahih Al Jami’, no.3004.
[12]
Lihat
Al Mughni (8/389), Fiqh As Sunnah (3/414), Al Fiqh Al Manhaji
(2/243), dan Al Mulakhash Al Fiqhi (2/172).
[16] Imam
Ibnu Hazm dan Imam Asy Syafi’i mendahulukan pelunasan utang-utang kepada Allah,
seperti zakat dan kaffarat-kaffarat di atas utang-utang kepada sesama manusia.
Sedangkan ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa utang-utang mayit kepada Allah
gugur dengan sebab kematiannya, maka tidak wajib bagi ahli warisnya untuk
melunasi utang-utangnya, kecuali jika mereka mau menyumbangkannya, atau jika si
mayit berwasiat agar utang-utangnya tersebut dilunasi. Jika si mayit berwasiat
dengan wasiat tersebut, maka hukum wasiatnya ini sama dengan wasiat yang
ditujukan kepada orang asing (bukan ahli waris). Dengan demikian si ahli waris
atau orang yang diwasiati hanya boleh mengeluarkan maksimal sepertiga at
tarikah setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah dan setelah pelunasan
utang-utang (si mayit) kepada sesama manusia. Hal ini dilakukan jika si mayit
memiliki ahli waris. Jika dia tidak memiliki ahli waris, maka boleh dikeluarkan
dari seluruh tarikahnya itu. Sedangkan ulama Hanabilah, mereka menyamaratakan
antara utang-utang kepada Allah dan kepada manusia. Lihat Fiqh As Sunnah
(3/425-426).
[17]
Muttafaq
‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/355, no. 2738), Shahiih Muslim (III/1249, no.
1627), Sunan Abi Dawud (VIII/63, no. 2845), Sunan at-Tirmidzi (II/224, no.
981), Sunan Ibni Majah (II/901, no. 2699), Sunan an-Nasa-i (VI/238).
[18]
Muttafaq
‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/363, no. 2742), dan ini lafazhnya, Shahiih Muslim
(III/250, no. 1628), Sunan Abi Dawud (VIII/64, no. 2847), Sunan an-Nasa-i
(VI/242).
[19]
Shahih:
[Shahiih Sunan Ibni Majah no. 2194], Sunan Ibni Majah (II/905, no.
2713), Sunan Abi Dawud (VIII/72, no. 2853), Sunan at-Tirmidzi (III/293, no.
2203).
[21]
Hasan:
[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2195), al-Irwaa’ (no. 1667)],
Sunan Ibni Majah (II/906, no. 2715), Sunan at-Tirmidzi (III/294, no. 2205).
Komentar
Posting Komentar